Arsip Blog

Shalat Musafir

Shalat Musafir

Rukhshah (izin): ialah hukum yang merobah dari kesulitan menjadi kemudahan.

Musafir: ialah seorang Muslim yang keluar dari negerinya ke negeri lain dengan maksud mengerjakan sesuatu yang dibolehkan dalam agama seperti bermusafir karena menuntut ilmu, melaksanakan tugas agama seperti menunaikan Ibadat Haji, menziarahi keluarga atau mencari rezeki yang halal untuk memenuhi keperluan keluarganya dan negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Maka pada saat itu dibolehkan baginya meng-gashar (mengurangi) shalatnya.

Allah berfirman

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوّاً مُّبِيناً – النساء ﴿١٠١﴾

”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.  Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” an-Nisa’ 101.

عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ ، قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ، إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا } فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ، فَقَالَ: عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ (رواه مسلم)

Dari Y’ala bin Umayyah ra bahwasanya ia bertanya kepada Umar bin Khathab ra  tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir, padahal manusia telah aman”. Umar ra menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah saw tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim).

Rukhshah (izin) Orang Musafir

  • Diizinkan bagi orang musafir untuk mengurangi (qashar) shalat-shalat wajib dari empat raka’at mejadi dua raka’at yaitu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan shalat Isya’
  • Diizinkan taqdim (mendahulukan) shalat yaitu taqdim shalat Ashar diwaktu Dhuhur dan taqdim shalat Isya’ diwaktu Maghrib
  • Diizinkan takhir (menunda) shalat yaitu menunda (takhir) sholat Dhuhur diwaktu Ashar dan menunda (takhir) sholat Maghrib diwaktu Isya’
  • Diizinkan baginya tidak melakukan shalat Jum’at atau tidak wajib baginya sholat Jum’at jika ia keluar dari negerinya sebelum sholat fajar di hari Jum’at dan harus menggantikannya dengan shalat Dhuhur dua raka’at (diqasarkan).
  • Diizinkan baginya untuk berbuka puasa dibulan Ramadhan yaitu bagi musafir diizinkan baginya untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib baginya meng-qadha (membayar) puasanya pada bulan-bulan yang lain tanpa membayar fidyah.

 

Kapan Mulai dan Selesai Shalat Musafir

  • Permualaan shalat musafir dimulai dari jika ia keluar sebagai musafir dan sudah melewati perbatasan negerinya.
  • Selesainya shalat musafir dimulai dari jika ia kembali dari perjalananya dan sudah memasuki perbatasan negerinya

Semua ini dilakukan dengan niat beriqamah (menetap) selama 4 hari 4 malam bagi yang mempunyai keperluan biasa tidak termasuk hari masuk dan hari keluarnya musafir. Bagi yang menunggu suatu penyelesaian, yaitu jika musafir tinggal di sebuah daerah untuk menunggu selesainya urusan yang diperkirakan (selesai) sebelum empat hari (namun ternyata perkiraan itu meleset dan ternyata lebih dari empat hari) maka pendapat yang shahih menurut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i adalah boleh mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari.

عَنْ عِمْرَان بْنِ حُصَيْن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَهِدْتُ مَعَهُ الْفَتْحَ ، فَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِي عَشْرَةَ لَيْلَةً لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ ، وَيَقُولُ : يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ (رواه أبو داود و البيهقي وحسنه الترمذي)

Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Imran bin al-Hushain ra ia berkata ”Kami berperang bersama Rasulallah saw dan menyaksikan fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan kami duduk di Makkah 18 hari, kami tidak shalat keculai dua raka’at (diqashar). Rasulallah saw bersabda ”Wahai penduduk Makkah beshalatlah kalian 4 raka’at sesungguhnya kami orang orang yang bermusafir”. (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dan At-Tirmidzi mejadikan hadits ini hasan)

Syarat mengurangi (meng-qashar) shalat

1- Negeri yang dituju harus ditentukan. Hal ini agar bisa diketahui apakah boleh mengqashar shalatnya atau tidak.

2- Maksud perjalanannya harus mubah bukan untuk bermaksiat, karena rukhshah (izin) untuk mengqashar shalat dibolehkan bagi musafir yang bukan bertujuan untuk maksiat.

Allah berfirman

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ – المائدة ﴿٣﴾

 

”Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” al-Maidah,3

3- Negeri yang dituju harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Ada perselisihan jarak menurut jumhur ulama. Menurut imam Syafie Jarak negeri yang dituju harus 4 barid (80.64 Km), yakni harus lebih dari 80.64 km.

عن ابْنَ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ كَانَا يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَهَا (البيهقي بإسناد صحيح)

Sesuai dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra bershalat dua raka’at dan tidak berpuasa dalam bepergian lebih dari 4 barid” (HR Baihaqi dengan isnad shahih).

عَنْ عَطَاءٍ , قَالَ : سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ , فَقُلْتُ : أَقْصُرُ الصَّلاةَ إِلَى عَرَفَةَ ؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: إِلَى مِنًى ؟ قَالَ: لاَ، , وَلَكِنْ إِلَى جُدَّةَ وَإِلَى عَسْفَان وَإِلَى الطَّائِفِ (الشافعي و البيهقي بإسناد صحيح)

Begitu pula menurut riwayat Atha’, dia bertanya kepada Ibnu Abbas ”Apakah aku menqashar shalatku jika aku bepergian ke Arafah?” ia menjawab ”Tidak”. Kemudian Atha’ bertanya ”Kalau ke Mina?”, ia menjawab ”Tidak. Tapi ke jeddah, ke Asfan dan ke Taif (boleh mengqashar)” (HR As-Syafie dan al-Baihaqi dengan sanad yang shahih).

Dari hadist ini kita bisa mengambil istimbath bahwa jarak antara Makkah ke Thaif atau ke jeddah atau ke Asfan adalah 4 barid (lebih dari 80.64 km) .

4- Shalat yang diqashar (dikurangi) harus shalat shalat yang bilangan raka’atnya empat raka’at yaitu shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’, sesuai dengan ijma ulama

5- Harus melakukan niat mengurangi (mengqashar) shalatnya sewaktu takbiratul ihram, karena asal shalat yang diqashar adalah empat raka’at, maka jika ingin diqashar menjadi dua raka’at harus diniati sebelum takbiratul ihram.

6- Tidak boleh bermakmum dibelakang orang yang shalatnya sempurna

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَما سُئِلَ : مَا بَالُ الْمُسَافِرِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إذَا انْفَرَدَ وَأَرْبَعًا إذَا ائْتَمَّ بِمُقِيمٍ ؟ فَقَالَ تِلْكَ السُّنَّةُ (رواه مسلم)

Dari Ibnu Abbas ra, ia ditanya: kenapa musafir bershalat dua raka’at jika sendiri dan empat raka’at jika berma’mum kepada yang bermukim? Ia menjawab ”itu adalah sunnah” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunah Nabi saw.

Keterangan (Ta’liq):

Niat qashar (mengurangi) shalat ialah

نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا للهِ تَعَالَى اللهُ أَكْبَرْ

Artinya: ”Aku niat shalat Dhuhur dua raka’t dengan mengqasharnya karena Allah Ta’ala Allahu Akbar”

Menjam’a (Menggabung) Shalat

Bagi musafir boleh mejama’ (menggabung) antara dua shalat yaitu menggabungkan antara shalat dhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’ dan dikerjakan dalam waktu salah satunya yaitu boleh dikerjakan dalam waktu dhuhur atau dalam waktu ashar begitu pula dalam waktu maghrib atau dalam waktu isya.

Jadi seorang musafir boleh men-jama’ (menggabung) shalatnya baik jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ (رواه الشيخان)

Sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas ra ia berkata ”sesungguhnya Rasulallah saw menjama’ (menggabung) antara maghrib dan isya’ jika dalam perjalanan (HR Muttafaqun ’alih).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه الشيخان)

Begitu pula hadits dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barat, beliau mengakhirkan sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan menjama’ (menggabung) keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau sholat dulu lalu memulai perjalanan. (HR Bukhari Muslim).

Syarat Mendahulukan (Men-taqdim) Shalat

  1. Shalat yang pertama harus didahulukan baru setelah itu shalat yang kedua (shalat Dhuhur lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat Ashar, begitu pula shalat Maghrib lebih dahulu kemudian men-taqdim shalat isya’)
  1. Harus niat menggabung (jama’) antara shalat pertama dan kedua dan niat dilakukan waktu melakukan shalat pertama. (Lihat niat dibawah)
  1.  Kedua shalat harus dilakukan secara berturut-turut (tertib) yaitu tidak boleh ditunda terlalu lama atau jangan diselangi dengan waktu yang panjang. Karena kedua shalat dianggap satu shalat. Rasulallah saw sewaktu menjama’ kedua shalat beliau lakukan secara berturut-turut dan tidak melakukan shalat sunnah antara kedua shalat
  1. Harus masih dalam keadaan musafir sewaktu melakukan shalat kedua.

Keterangan:

Niat mendahulukan (men-takdim) shalat, yaitu mentakdim shalat Ashar dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Dzuhur di waktu Dhuhur atau mentakdim shalat Isya’ dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Maghrib di waktu Maghrib.

نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ رَكْعًتَيْنِ جَمْعًا بِالعَصْرِ تَقْدِيْمًا وَقَصْرًا للهِ تَعَالَى

Artinya: “Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah ”

 

Syarat Menunda (Men-takhir) Shalat

  1. Niat menunda (men-takhir) shalat pertama ke dalam shalat kedua, misalnya niat menunda shalat Dhuhur ke waktu shalat Ashar (masuknya waktu sholat dhuhur dalam keadaan tidak shalat), begitu pula niat menunda shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’ (masuknya waktu shalat Maghrib dalam keadaan tidak shalat)
  1. Harus masih dalam keadaan musafir saat selesai sholat kedua

Keterangan:

Niat menunda (men-takhir) shalat, yaitu menunda (mentakhir) shalat Dzuhur dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Ashar di waktu Ashar atau menunda (mentakhir) shalat Maghrib dengan niat dijama’ atau digabung dengan shalat Isya’ di waktu Isya’

نَوَيْتُ أُصَلِّي فَرْضَ الظُهْرِ  رَكْعًتَيْنِ جَمْعًا بِالعَصْرِ تَأخِيْرًا وَقَصْرًا للهِ تَعَالَى

Artinya: “Saya berniat sholat dhuhur dua raka’at jama’ takhir dengan ashar dan diqashar karena Allah”

Men-jamak (Menggabung) Shalat Ketika Hujan

Shalat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Jika suatu ketika hujan turun, boleh men-jamak (menggabung) shalat di masjid antara zhuhur dan ashar, juga maghrib dan Isya. Hal ini sebagai rukhshah. Bahkan dianjurkan untuk men-jamak shalat dalam rangka memudahkan mereka dan mendapat kesulitan jika keluar. Atau mereka boleh mengerjakan shalat sendiri sendiri di rumah dan tidak melaksanakanya berjama’ah di masjid.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلا سَفَرٍ (رواه الشيخان)

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Sesungguhnya Rasulallah saw menjamak antara dzuhur dan ashar dan antara maghrib dan isya’  di Madinah tidak karena rasa takut (waktu perang) atau pepergian (safar) – HR Bukhari Muslim. Yang dimaksud disini mejamak shalat ketika turun hujan

Sujud Sahwi, Tilawah, Syukur

Sujud Sahwi

Sahwi dalam bahasa artinya lupa atau lalai, dan dalam ilmu fiqih adalah lupa sesuatu di dalam sholat. Sujud sahwi ialah dua sujud yang dilakukan sesudah tasyahhud akhir sebelum salam dan hukumnya sunnah muakkadah bagi yang meninggalkan suatu perintah atau mengerjakan suatu yang terlarang didalam shalat. Hal ini dikerjakan untuk menutup kecacatan dalam pelaksanaan sholat karena lupa.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ (رواه مسلم)

Dari Abu Said Al-khudry sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian ragu di dalam sholatnya sehingga ia tak tahu lagi apakah ia sudah melakukan shalat sebanyak tiga raka’at atau empat raka’at, hendaklah dibuangnya keraguan itu dan mengambil yang ia yakini, kemudian hendaknya ia sujud sebanyak dua kali sebelum melakukan salam. Sekiranya ia telah melakukan shalat 5 Raka’at, berarti shalatnya telah digenapkan dengan Sujud sahwinya itu. Dan sekiranya ia shalat tepat empat raka’at, dua sujud itu menghinakan bagi setan.” (HR. Muslim).

Meninggalkan sesuatu didalam shalat ada 3 macam:

  1. Meninggalkan rukun shalat
  2. meninggalkan sunnah ab’adh
  3. meninggalkan sunnah haiat

1- Meinggalkan Rukun Shalat

  1. Rukun didalam shalat jika ditinggalkan oleh seseorang dengan sengaja maka hukumya batal shalatnya seketika itu juga, karena tartib dalam rukun shalat wajib.
  2. Apabila seseorang meninggalkan salah satu rukun sholat secara tidak sengaja, dan ia belum kembali mengerjakan rukun yang sama di raka’at berikutnya (belum membaca al-Fatihah setelah bangun dari sujud di raka’at berikutnya), maka ia wajib kembali kepada rukun yang ditinggalkan dan disunahkan sujud sahwi
  3. Apabila seseorang meninggalkan salah satu rukun sholat secara tidak sengaja, dan ingat setelah berada pada raka’at berikutnya (sudah membaca al-Fatihah setelah bangun dari sujud di raka’at berikutnya), maka wajib meneruskan shalatnya dengan membawa rukun yang dilupai dan disunnahkan sujud sahwi
  4. Rukun shalat seperti lupa satu raka’at jika ditinggalkan setelah selesai atau keluar dari shalat kemudian ingat dan belum lama waktunya maka ia harus menambah satu raka’at yang dilupakan dan disunnahkan bersujud sahwi.
  5. Rukun shalat seperti lupa satu raka’at jika ditinggalkan setelah selesai atau keluar dari shalat kemudian ingat tapi sudah lama waktunya maka ia harus mengulangi kembali shalatnya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ الْأَسَدِيِّ حَلِيفِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ وَعَلَيْهِ جُلُوسٌ فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ وَسَجَدَهُمَا النَّاسُ مَعَهُ مَكَانَ مَا نَسِيَ مِنْ الْجُلُوسِ (رواه الشيخان)

Dari Abdullah bin Buhainah Al-Asadi, sesungguhnya Rasulullah saw pernah melaksanakan shalat dzuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai ganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).” (HR Bukhari Muslim)

2- Meninggalkan Sunnah Ab’adh

a)     Jika seseorang meninggalkan sunnah ab’adh seperti lupa melakukan qunut diwaktu shalat subuh sebelum sujud dan ia belum melakukan sujud maka sunnah ia kembali melakukan qunut dan bersujud sahwi.

b)     Jika seseorang lupa melakukan qunut setelah melakukan sujud maka tidak wajib kembali melakukan qunut, tapi cukup diganti dengan sujud sahwi

Do’a sujud sahwi:

سُبْحَانَ مَن لاَيَنَامُ وَلايَسْهُو

Artinya: Maha Suci yang tidak tidur dan tidak lupa

3- Meninggalkan Sunnah Haiat

Jika seseorang meninggalkan sunnah haiat (lihat pelajaran sunah haiat dalam shalat) didalam shalat dengan sengaja atau lupa maka tidak dianjurkan kembali melakukanya dan tidak sunah sujud sahwi.

Mengerjakan yang terlarang dalam shalat

a)     jika yang terlarang itu sesuatu pekerjaan yang tidak membatalkan shalat seperti menengok, senyum dll maka tidak sunnah bersujud sahwi

b)     jika yang terlarang itu sesuatu yang membatalkan shalat seperti melebihi raka’at shalat dan dilakukanya dengan tidak sengaja maka disunnahkan bersujud sahwi dan jika dilakukannya dengan sengaja maka shalatnya batal.

c)      Jika seseorang ragu dalam shalat apakah yang dilakukanya 3 raka’at atau 4 raka’at maka ia harus bersender kapada raka’at yang diyakininya

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْساً فَقِيلَ لَهُ : أَزِيدَ في الصَّلاةِ ؟ فَقَالَ : وَمَا ذَاكَ ؟ قَالُوا : صَلَّيْتَ خَمْساً . فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ (رواه الشيخان)

Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: Pernah Rasulallah saw shalat dzuhur lima raka’at. Beliau ditanya: ”Apakah kamu melebihi shalat?” Rasulallah saw bersabda: ”apa yang aku lebihi?” Sahabat berkata: ”kamu shalat lima raka’at.” Maka beliau sujud dua kali (HR Bukhari Muslim)

Sujud Tilawah

Sujud tilawah hukumnya sunah bagi pembaca atau pendengar Al-Qur’an jika sampai kepada salah satu dari 15 surat sajadah (tersebut di bawah) di dalam shalat atau diluarnya. Cara dan syaratnya sama dengan sujud di waktu shalat yaitu niat, bertakbir sewaktu ingin sujud kemudian bersujud satu kali sujud, berdoa sewaktu sujud, bangun dari sujud lalu salam.

Caranya sujud tilawah di dalam shalat, begitu selesai membaca ayat sajadah, kita disunnahkan untuk langsung sujud, tanpa ruku’ atau i’tidal. Sujudnya hanya sekali dan langsung berdiri kembali untuk meneruskan bacaannya dalam shalat. Jika di luar shalat cukup dilakukan dengan takbir diwaktu sujud dan takbir bangun dari sujud lalu salam.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ فَإِذَا مَرَّ بِالسَّجْدَةِ كَبَّرَ وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا ‏(رواه الشيخان إلا لفظ كبر فليس في روايتهما)

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Pernah Rasulullah saw membacakan Al-Qur’an kepada kami, apabila ia melewati ayat sajadah ia takbir dan sujud, dan kami pun sujud bersamanya.” (HR Bukhari Muslim kecuali lafadh takbir bukan riwayat mereka)

Disunahkan sewaktu sujud membaca do’a:

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Artinya: Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai’, al-Hakim dari Aisyah ra)

Ada 14 surat dalam Al-Qur’an yang disunahkan bersujud tilawah

  1. Surat al-A’raf ayat 206          { يُسَبِّحُوْنَهُ وَ لَهُ يَسْجُدُوْنَ }
  2. Surat ar-Ra’du ayat 15        { بِالْغُدُوِّ وَ الآصَالِ }
  3. Surat an-Nahlu ayat 50         { وَ يَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُون }
  4. Surat al-Isra’ ayat 109          { وَ يَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا }
  5. Surat Maryam ayat 58        { خَرُّوا سُجَّدًا وَ بُكِيًّا }
  6. Surat al-Haj ayat 77              { وَ اْفعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ }
  7. Surat al-Furqan ayat 60        { وَ زَادَهُمْ نُفُوْرًا }
  8. Surat an-Namlu ayat 26        { رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ }
  9. Surat al-Sajadah ayat 15     { وَ هُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُون }
  10. Surat Fussilat ayat 38           { وَ هُمْ لاَ يَسْئَمُون }
  11. Surat an-Najmi ayat 62         { فَاسْجُدُوْا للهَ وَ اعْبُدُوْا }
  12. Surat al-Insyiqaq ayat 21      { وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهُمُ اْلقُرآنَ لاَ يَسْجُدُون }
  13. Surat al-alaq ayat 19            { وَاسْجُدْ وَ اقْتَرِبْ }
  14. Surat al-Hajj ayat 18 { إنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ }

عِنْ عَمْرو ابْنِ العَاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَقْرَأَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّم خَمْسَ عَشْرَةَ سَجْدَةً فِي الْقُرْآنِ مِنْهَا ثَلَاثٌ فِي الْمُفَصَّلِ وَفِي سُورَةِ الْحَجِّ سَجْدَتَانِ (أبو داود و الحاكم بإسناد حسن)

Dari Amr bin Ash ra, bahwa Rasulullah saw telah mengajarkan kepadanya akan lima belas ayat sajdah dalam Al-Qur’an diantaranya, tiga ayat pada surat yang pendek dan dalam surat Al-Hajj ada dua sajdah.  (HR. Abu Daud, al-Hakim dengan isnad baik)

Adapun yang satu ayat lagi dalam surat shad ayat 24 yaitu:

و خَرُّ رَاكِعًا وَ أَنـَابَ – ص ﴿٢٤﴾

adalah ayat sujud syukur bukan sujud tilawah.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُوْلً اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَرَأَ ” ص ” فَلَمَّا مَرَّ بِالسَجْدَةِ نَشَرْنَا بِالسُجُوْدِ فَلَمَّا رَآنَا قَالَ : إِنَّمَا هِيَ تَوْبَةُ نَبِيٍ وَلَكِنْ قَدْ اسْتَعْدَدْتُمْ للسُجُوْدِ فَنَزَلَ وَ سَجَدَ (أبو داود بإسناد صحيح على شرط البخاري)

Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Said Al-Khudzri ra, ia berkata: “Suatu hari Rasulallah saw berkhutbah, dan membaca surat shad (dalam khutbahnya), ketika melewati ayat sajadah, kami semuanya turun sujud. Beliau melihat kami (sujud) lalu berkata: sesungguhnya ia (ayat tersebut) adalah taubatnya seorang Nabi, akan tetapi kamu telah siap untuk sujud, maka kamu turun dan sujud (HR Abu Dawud dengan isnad shahih)

Sujud Syukur

Sujud syukur ialah sujud yang dilakukan sewaktu mendapatkan suatu nikmat atau terhidar dari mala petaka. Syaratnya sama dengan sujud tilawah dan hukumnya sunah

عَنْ أَبِي بَكْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلً اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا جاءَهُ شيئٌ يَسُرُّهُ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا للهِ تَعَالَى (حسن أبو داود )

sebagaimana hadits dari Abu Bakar ra mengatakan: Rasulallah saw jika datang kepadanya sesuatu yang menggembirakan ia bersujud tanda syukur kepada Allah (Hadist Hasan Abu Dawud).

Hal Yang Makruh Dalam Shalat

Hal Yang Makruh Dalam Shalat

1. Melirik atau menoleh (Al-Iltafat) tanpa keperluan tertentu dalam shalat.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ : سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الاِلْتِفَاتِ فِي الصَّلاَةِ ؟ فَقَال : هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ (رواه البخاري)

berdasarkan hadits ‘Aisyah ra: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang menoleh dalam shalat.”.  Beliau bersabda: “Itu adalah pencurian yang dilakukan setan dari shalat seorang hamba.”( HR Bukhari).

2. Mengangkat pandangan, baik ke arah langit atau kemanapun, merupakan salah satu dari pada perbuatan makruh dalam shalat.

عَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَلَاةِ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ (رواه البخاري )

Dari Anas ra: Rasulullah saw bersabda: “Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat penglihatan mereka ke langit dalam shalat mereka? Hendak-lah mereka berhenti dari hal itu atau (kalau tidak), niscaya akan tersambar penglihatan mereka.” (HR Bukhari)

3. Sholat dengan tangan di pinggang. Yaitu seseorang sholat dengan bertolak pinggang.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْخَصْرِ فِي الصَلاَةِ (رواه الشيخان)

Dari Abi Hurairah Ra, ia berkata : Rasulullah saw melarang seseorang sholat dengan meletakan tangannya pada perutnya (bertolak pinggang). ( HR  Bukhari Muslim )

4. Mengusap rambut yang terurai atau melipatkan lengan baju yang terulur tanpa sebab. Hal juga merupakan perbuatan makruh dalam shalat.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَرَابٍ وَنَهَي أنْ يَكُفَّ شعرَهُ و ثوبَهُ (رواه الشيخان)

Dari Ibnu Abbas: “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan tidak boleh menaikkan rambut (yang terulur) atau melipat baju.” (HR Bukhari Muslim)

5. Shalat sambil menahan buang air kecil atau besar, atau menahan kentut. Hal ini bisa mengganggu ketenangan hati dalam shalat.

6. Shalat di depan hidangan makanan. Hal ini juga termasuk perbuatan makruh dalam shalat, Jika memungkinkan baginya untuk mendahulukan makan kemudian melaksanakan shalat, itu akan lebih baik, namun jika tidak memungkinkan karena sempitnya waktu, maka hal itu termasuk udzur baginya.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَام وَ لاَ هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ (رواه مسلم)

Dari Aisyah ras Rasulullah saw bersabda: “Janganlah shalat dekat dengan hidangan makanan dan janganlah shalat sambil menahan keluarnya sesuatu dari dua jalan (buang air kecil dan besar). (HR Muslim)

Membayar (Mengqadha) Shalat

Membayar (Mengqadha) Shalat

Membayar (mengqadha) shalat yang ditinggalkan hukumnya wajib, baik karena lupa, lalai atau pun tertidur.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ مَنْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا (رواه الشيخان)

Rasulallah saw bersabda: “Siapa yang tertidur atau lupa shalat, maka shalatlah ketika ingat” (HR Bukhari Muslim).

Dalam hadits lainya:

عَنْ عِمْرَانَ ابْنِ حُصَيْن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ وَقَعْنَا وَقْعَةً وَلَا وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ الْمُسَافِرِ مِنْهَا فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ اسْتَيْقَظَ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ، يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ الرَّابِعُ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ لِأَنَّا لَا نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ، قَالَ: (لَا ضَيْرَ -أَوْ لَا يَضِيرُ- ارْتَحِلُوا)، فَارْتَحَلَ فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاس، (رواه الشيخان)

Dari Imran bin Hushain ra, ia berkata: “Pernah kami pada suatu perjalanan bersama dengan Nabi saw dan kami berjalan malam hari sehingga larut malam. Lalu kami tidur dan tidak ada tidur yang lebih nyenyak dari itu bagi orang musafir, dan tidak ada yang membangunkan kami selain panas matahari.

Orang yang pertama bangun adalah Fulan, kemudian Fulan, dan kemudian Fulan (nama-nama orang itu ada disebutkan oleh Abu Raja’ yang menerima hadits ini dari ‘Imran, tetapi ‘Auf yang menerima hadits ini dari Abu Raja’ telah lupa), kemudian setelah itu Umar bin Khathab orang yang keempat bangun.

Nabi saw apabila beliau tidur tidak dibangunkan sampai beliau bangun sendirinya, kami tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam tidurnya. Setelah umar bangun dan dilihatnya apa yang terjadi pada orang banyak (mereka masih tidur sementara matahari telah tinggi) maka umar yang berkepribadian keras lalu bertakbir dan dikeraskannya suaranya membaca takbir itu hingga bangunlah Nabi Saw;

Setelah Nabi bangun, mereka mengadukan kepada Nabi hal kesiangan mereka; Jawab Nabi saw: tidak mengapa dan mari kita berangkat! lalu Nabi berangkat dan setelah berjalan tidak seberapa jauh, Nabi berhenti dan meminta air untuk berwudhu’, lalu Nabi berwudhu’ dan orang banyakpun dipanggil untuk sholat, maka sholatlah Nabi bersama mereka (HR. Al-Bukhari Muslim)