Author Archives: Hasan Husen Assagaf

Shalat Sunah Bukan Rawatib Dilakukan Secara Berjama’ah

2- Shalat Sunah Bukan Rawatib Yang Dilakukan Secara Berjama’ah

Ada beberpa sunah bukan rawatib yang dilakukan secara berjama’ah, yaitu:

a- Shalat TarawihShalat tarawih hukumnya mustahab (sunah) menurut ijma’ ulama, sesuai dengan riwayat Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw pernah menggalakkan sahabatnya berqiam Ramadhan tanpa menyuruh mereka dengan kesungguhan (ini menunjukkan bukan suatu kewajiban), lalu beliau bersabda: “Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah, niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (HR Muttafaqun ‘alaih).Adapun bilangan raka’atnya adalah 20 raka’at dengan sepuluh salam, dianjurkan agar dilakukannya berjama’ah sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika sayyidina Umar bin Khattab ra melihat Muslimim shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjama’ah kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dan dipilihlah Ubai bin Ka’ab ra sebagai imam (Shahih Al-Bukhari).…selanjutnya b- Shalat Iedul Fitri dan Iedul AdhaKedua shalat ini hukumnya sunah muakkadah yaitu sunah yang selalu dikerjakan Nabi saw.Sesuai dengan hadist tersebut sebelumnya dari Thalhan bin Ubaidillah ra, yaitu  seseorang dari penduduk Najed tiba-tiba ia bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah saw. bersabda: (Islam itu adalah) salat lima kali dalam sehari semalam. Orang itu bertanya: Adakah salat lain yang wajib atasku? Rasulullah saw. menjawab: Tidak ada, kecuali jika engkau ingin melakukan salat sunat. Demikian seterusnya ia bertanya tengang zakat dan puasa, dan akhirnya ia berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambahkan kewajiban ini dan tidak akan menguranginya. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda: ”Ia orang yang beruntung jika benar apa yang diucapkannya.” (HR Bukhari Muslim)

Kedua shalat ini dilakukan dua raka’at diiringi dengan niat shalat iedul fitri atau iedul adha, waktunya setelah terbit matahari sampai condongnya..selanjutnya

 

Takbir Iedul Fitri & Adha

  • Takbir pada waktu Hari Raya Ied (idul Fitri & idul Adha) hukumnya sunah.
  • Takbir merupakan suatu pemandangan indah yang mencerminkan syi’ar Islam dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan), sesungguhnya orang islam itu bersaudara.
  • Takbir adalah pernyataan syukur kepada Allah atas selesainya pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan yaitu suatu ibadah badaniah yang paling lama dilaksanakan oleh seorang Muslim dari fajar menyingsing sampai terbenamya matahari selama satu bulan .
  • Takbir merupakan pengumuman selesainya ibadah Haji setelah wukuf di Arafat pada tanggal 9 Dzul Hijjah dan melontar Jumratul Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (tahallul).
  • Disunahkan bagi setiap orang mengeraskan takbirnya ketika keluar menuju masjid atau tanah lapang untuk shalat.

Dari Umi ‘Athiyyah ra, ia berkata: “Dahulu kami diperintahkan (pada hari ied) untuk mengeluarkan wanita…selanjutnya

 

c- Shalat Gerhana Gerhana (Bulan dan Matahari) sebagai satu perkara yang luar biasa. Kejadian gerhana ini merupakan di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Apabila terjadi gerhana bulan ataupun matahari maka disunnahkan bagi kita untuk mengerjakan sholat sunah gerhana bulan (Kusuf) atau gerhana matahari (Khusuf).Shalat ini hukumnya sunah mu’akkadah yaitu sunah yang selalu dilakukan oleh Nabi saw secara berjama’ah sebanyak dua raka’at

Nabi saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana kerena kematian seseorang atau kehidupannya (kelahirannya). Tetapi, kedua-duanya adalah dua tanda antara tanda-tanda kebesaran Allah. Apabila kamu semua melihat kedua-duanya (mengalami gerhana) maka dirikanlah sholat. (HR Bukhari Muslim)

Cara ringkas mengerjakan sholat gerhana:

Raka’at pertama

  • Takbiratul Ihram diiringi dengan niat di dalam hati untuk mengerjakan sholat gerhana (kusuf atau khusuf),
  • Membaca do’a iftitah (lihat do’a iftitah dalam shalat)…selanjutnya

 

d- Shalat Istisqa’ (Minta Hujan)

Istisqa’ dalam bahasa artinya meminta hujan, yaitu berdo’a kepada Allah meminta diturunkan hujan di saat terjadinya musim peceklik atau kemarau panjang. Maka pada saat itu disunahkan melaksanakan shalat istisqa dua raka’at.

Daripada ‘Abbad bin Tamim dari pamannya, ia berkata: Nabi saw keluar untuk mengerjakan solat Istisqa’. Beliau sholat dua raka’at, mengeraskan bacaan dalam kedua raka’at, merobah selendangnya dan mengangkat kedua tangannya (HR Bukhari Muslim)

Ada beberpa hal yang perlu diketahui dalam pelaksanaan shalat istisqa’:

– Shalat istisqa dilakukan dua raka’at, seperti shalat ied, bertakbir tujuh kali di raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua selain takbiratul ihram dan takbir bangun dari ruku.

– Disunahkan bagi imam mengeraskan suaranya dalam shalat, dan membaca surat setelah al-Fatihah sama dengan bacaan surat dalam shalat ied.

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Nabi saw keluar ke mushalla (untuk bersolat Istisqa) mengenakan pakaian biasa (bukan seperti pakaian Hari Raya) dengan penuh harapan. Beliau sholat dua raka’at sebagaimana sholat ied. (HR Ahmad, Ashabus-sunan, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai’ dengan isnad shahih)…selanjutnya

Sholat sunnah bukan rawatib Tidak Dilakukan Berjama’ah

1- Sholat sunnah bukan rawatib Tidak Dilakukan Berjama’ah

Ada beberapa shalat sunah bukan rawatib yang tidak dilakukan secara berjama’ah, diantaranya:

a- Shalat Wiitir  

Hukumnya shalat ini mustahab (sunah) dan tidak dianjurkannya berjama’ah, waktunya setelah shalat isya’ sampai fajar menyingsing. Shalat witir boleh dilakukan satu raka’at, boleh tiga raka’at dan sempurnanya 11 raka’at,. Shalat witir bukan satu keharusan seperti shalat 5 waktu, tapi ia merupakan sunah

Dari Thalhan Ubaidillah ra., ia berkata: Seseorang dari penduduk Najed tiba-tiba ia bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah saw. bersabda: (Islam itu adalah) salat lima kali dalam sehari semalam. Orang itu bertanya: Adakah salat lain yang wajib atasku? Rasulullah saw. menjawab: Tidak ada, kecuali jika engkau ingin melakukan salat sunat. Orang itu bertanya lagi tentang zakat dan puasa, dan akhirnya ia berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambahkan kewajiban ini dan tidak akan menguranginya. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda:…selanjutnya

b- Shalat Dhuha

Shalat ini hukumnya sunah, sedikit dua raka’at dan sempurnanya 8 raka’at, dan waktunya setelah terbit matahari sampai tergelincirnya matahari,

Dari Abu Dzarr ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: Setiap sendi seorang di antaramu adalah sadaqah, maka satu tasbih (subhanallah) adalah sadaqah, setiap satu tahmid (alhamdulillah) adalah sadaqah, setiap satu tahlil (la ilaha illallah) adalah sadaqah, setiap amar ma’ruf adalah sadakah dan setiap nahi munkar adalah sadakah. Dan dua raka’at shalat dhuha sudah cukup untuk menggantikan semua itu.” (HR Muslim)

Hadits Rasulallah saw dari Ummu Hani binti Abi Thalib bahwa Rasulallah saw shalat dhuha 8 raka’at (HR Bukhari Muslim)

Do’a setelah shalat dhuha ..selanjutnya

c- Shalat Tahiyyatul Masjid

Shalat tahiyatul masjid ialah shalat yang dilakukan disaat memasuki masjid sebelum duduk kapan saja memasukinya tanpa kecuali siang atau malam. Shalat ini hukumnya sunah.

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw: ”Jika sesorang dari kalian memasuki masjid maka jangalah ia duduk sebelum melakukan shalat dua raka’at” (HR Bukhari Muslim) ..selanjutnya

 

d- Shalat Setelah Wudhu

Shalat ini hukumnya sunah, dilakukan dua raka’at setelah wudhu dan waktunya kapan saja. Shalat ini sangat besar pahalanya.

Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulallah saw bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku suatu amalan paling engkau harapkan pahalanya yang engkau amalkan dalam Islam, karena sesungguhnya aku mendengar suara ..selanjutnya

e- Shalat Istikharah (Minta Petunjuk)

Shalat istikharah hukumnya sunah dilakukan dua raka’at sewaktu seseorang Muslim ingin melakukan sesuatu pekerjaan yang penting dalam hidupnya dan ia bimbang melakukanya, lalu ia memohon kepada Allah pentunjuk yang baik.

Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: bahwa Rasulallah saw mengajarkan kita shalat istakharah dan do’a istikharah sebagaimana beliau mengajarkan kita pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan sabdanya ”Jika sesorang diantara kalian ingin melakukan pekerjaan penting maka bershalatlah dua raka’at dan bacalah do’a :…selanjtutnya

f- Shalat Tahajjud

Allah berfirman; “Dan pada sebagian malam hari bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” (Al Isra’ : 79).

Shalat tahajjud atau shalat malam adalah sunah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa dan mengangkat derajat ke tempat yang terpuji. Shalat ini termasuk ibadah yang berat, karena di saat kita terlelap tidur dan masih mengantuk kita harus bangun untuk shalat. Waktunya yang paling utama adalah pada sepertiga malam yang terakhir. Pada saat ini doa akan dikabulkan oleh Allah.…selanjutnya

g- Shalat Tasbih

Shalat tashbih adalah sunah. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama penganut mazhab Syafi’e. Dinamakan tasbih karena pelaku shalat akan membaca kalimat tasbih “Subhanallah wal hamdu lillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar” sebanyak 300 kali yang dilakukan sebanyak 4 raka’at, setiap raka’at 75 kali tasbih. Shalat ini diajarkan Rasulullah saw kepada pamannya yakni Abbas bin Abdul Muthallib ra. Hikmah shalat ini adalah dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tentu saja jika dilakukan dengan hati yang ikhlas.…selanjutnya

h- Shalat Awwabin

Sholat Awwabin adalah sunah. Awwabin sendiri berasal dari bahasa Arab yang bererti orang yang sering bertaubat. Cara Mengerjakan sholat awwabin sama seperti sholat sunah yang lain. Niat untuk mengerjakan sholat awwabin “Aku niat shalat sunah awwabin dua rakaat kerana Allah Ta’ala”

Menurut Imam Syafi’i shalat ini dilakukan antara shalat maghrib dan isya’ sebanyak 2 raka’at, atau 4 rakaat atau enam rakaat, atau sebanyak 20 rakaat dengan satu salam setiap dua raka’at.…selanjutnya

i- Shalat Hajat

Bila seorang Muslim mendapatkan masalah dalam sesuatu perkara baik berupa kesulitan atau hajat tertentu maka dianjurkan agar minta pertolongan dari Allah dengan mendirikan sholat hajat dua raka’at.

Hal ini selalu dilakukan Imam Bukhari, beliau sering melakukan sholat dua raka’at sebelum meletakkan sesuatu hadits dalam kitabnya. Jadi, sholat dua raka’at sebelum melakukan sesuatu atau untuk meminta sesuatu merupakan amalan orang soleh. Caranya berniat, lalu shalat dua raka’at sama seperti shalat sunah lainya dan waktunya kapan saja, kemudian memohon hajatnya disaat sujud atau setelah shalat…selanjutnya

 

j- Shalat Sunah Ihram

Shalat sunah ihram bukan sebagai syarat sahnya ihram, tapi hukumnya sunnah menurut mayoritas ulama. Adapun caranya adalah dengan wudhu dan shalat dua rakaat di miqat kemudian niat dalam hati apa yang ingin dilakukan dari haji atau umrah dan melafazkan hal tersebut dengan mengucapkan, “Labbaik Allahuma umratan ” jika untuk umrah saja, atau “Labbaik Allahumma hajjatan ” jika ingin haji saja, atau “Labbaik Allumma hajjan wa ‘umratan” jika ingin melaksanakan haji dan umrah sekaligus seperti dilakukan Nabi saw dan para sahabatnya, kemudia membaca talbiyah (Labaikallahuma labaik).…selanjutnya

 

k- Shalat Setelah Thawaf

Sesuai dengan syari’at Islam bagi orang yang masuk Masjidil Haram baik untuk haji atau umrah adalah memuali dengan thawaf dan setelah selesai thawaf disunahkan shalat dua raka’at dengan satu salam di muka maqam Ibarahim.

Allah berfirman: Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat.” al-Baqarah 125

Sebelum Dan Sesudah Kematian

Sebelum Dan Sesudah Kematian

Setiap orang pasti akan mati. Sayangnya, banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka hidup di dunia ini hanya sesaat, mereka menyangka hidup ini akan terus menerus tidak ada kemantian. Kehidupan makhluk di dunia ini tidak kekal. Setiap kehidupan pasti diakhiri dengan kematian. Umur manusia tidak ada yang tahu kecuali Allah. Berapa banyak kita dengar berita orang meninggal secara tiba-tiba. Kalau sudah waktunya, mau tak mau harus menghadapi hal yang namanya kematian.

Maut dalam bahasa artinya mati atau terpisahnya ruh dari jasad atau badan. Ruh dalam bahasa artinya jirm (الجِرْم) atau dzat yang tidak bisa dilihat atau diraba. Sedangkan ruh atau jirm ini adalah makhluk yang kekal tapi ada yang mengkekalkanya yaitu Allah yang Maha Kekal. Ruh adalah makhluk ghaib, makanya disaat keluarnya ruh dari jasad tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Ruh bukan benda atau materi, makanya ia tidak terkena hukum kehancuran. Jika seseorang mati jasadnya hancur dimakan tanah di pekuburan, tapi ruhnya tidak mati, ia berpindah dari satu alam ke alam yang baru, dari alam dunia ke alam akhirat, ke alam ghaib yang disebut alam Barzakh

وَمِن وَرَآئِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ – المؤمنون ﴿١٠٠﴾

 “Dan di hadapan mereka (ahli kubur) ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan “ (Qs Al-Mu’minun ayat:100).

jadi, dzat yang ghaib seperti ruh tempatnya di alam yang ghaib pula.

Menurut pendapat ahli tafsir, makna alam barzakh ialah suatu tempat di antara dunia dan akhirat sebelum manusia dikumpulkan di padang Mahsyar setelah hari kebangkitan atau boleh juga dikatakan alam barzakh adalah dinding pembatas antara waktu setelah kematian seseorang sehingga waktu dibangkitkannya. Jadi siapa yang mati bermakna dia telah memasuki alam barzakh atau alam kubur.

Maut bukan akhir dari kehidupan. Maut adalah adalah awal kehidupan yang baru. Jadi maut bukan kesudahan, kehancuran atau kemusnahan. Maut adalah suatu peralihan dari suatu dunia ke dunia lainnya. Jadi, kematian tidak bisa dihindari dari seseorang. Tetapi harus dihadapi. Yang ditakutkan mausia bukan menghadapi kematian, tapi apa yang akan dihadapi setelah kematian itu datang. Oleh karena itu orang yang semasa hidupnya banyak menabur dan menanam kebaikan, maka kematian baginya adalah sebuah pintu yang membawanya masuk kedalam kehidupan baru yang jauh lebih baik dan lebih indah dari kehidupan di dunia. Itulah yang diyakini orang yang beriman dan sering berbuat baik, baginya kematian itu akan mengantarkan mereka ke taman surga Firdaus yang mengalir di bawahnya sungai sungai, sehingga kematian bagi mereka tidak terasa. Maka hadapilah kematian dengan iman, dan lakukanlah kebaikan sebelum kematian itu tiba.

Sekarang apa yang kita harus lakukan jika mendengar seseorang telah meninggal dunia?

Cara Menghadapi Orang  Sedang Sakaratul-maut

Tentu sebelum datang kematian, manusia pasti mengalami sakaratul maut, artinya saat saat terpisahnya jasad dengan ruh. Apabila keadaan si sakit sudah berakhir dan memasuki pintu maut, yakni saat-saat meninggalkan dunia yaitu ihtidhar (detik-detik kematian),  maka disunahkan bagi keluarganya melakukan beberpa hal:

– Orang yang sakit diletakan dalam posisi berbaring diatas rusuk kanan menghadap kiblat, seperti membaringkan mayat di liang lahad. Jika tidak mampu maka diletakan dalam posisi berbaring diatas rusuk kiri. Jika tidak mampu juga maka diterlentangkan di atas punggungnya, kedua telapak kakinya ke arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi mayat yang dimandikan.

عَنْ أَبِي قَتَادَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ سَأَلَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ قَالُوا : تُوُفِّيَ ، وَأَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لَك يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَأَوْصَى أَنْ يُوَجَّهَ الْقِبْلَةَ إذَا اُحْتُضِرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَصَابَ الْفِطْرَةَ ، وَقَدْ رَدَدْتُ ثُلُثَهُ عَلَى وَلَدِهِ ثُمَّ ذَهَبَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ، وَقَالَ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَأَدْخِلْهُ جَنَّتَك وَقَدْ فَعَلْت (رواه الحاكم و قال حديث صحيح)

Hal ini sesuai dengan hadits Abu Qatadah ra, bahwa ketika Nabi saw datang di Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra’ bin Ma’rur, lalu para sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berwasiat memberikan sepertiga hartanya untukmu ya Rasulallah, dan berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda : “Sesuai dengan fitrah dan aku kembalikan sepertiga hartanya kepada anaknya”, kemudian beliau pergi dan shalat ghaib atasnya dan berdoa ”Ya Allah ampunilah dia dan masukanlah dia ke surgaMu’(HR al-Hakim, hadist shahih)

– Mengajarinya atau menuntunnya untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan suara tenang, tidak dipaksa dan bisa didengar orang yang sakit. Tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah.

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه مسلم)

Dari Abu sa’id al-Khudzri ra: sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat “laa illaaha illallah”. (HR Muslim)

– Dianjurkan agar dibacakan surat Yasin kepada orang yang sedang sakarat

عَنْ مَعْقَلٍ ابْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ (أبو داود و ابن ماجه بإسناد فيه مجهولان ولم يضعفه أبو داود)

Berdasarkan hadits dari Ma’qal bin Yasar ra, ia barkata: sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Bacakanlah kepada orang yang hampir mati diantara kamu (yakni surat Yasin) (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dengan sanad2 majhul tapi tidak didhaifkan oleh Abu Dawud)

– Disukai bagi yang sedang sakaratul maut untuk berprasangka baik kepada Allah. Yaitu berharap rahmat Allah, selalu mengingat kemurahan dan luas pengampunan-Nya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يَقُولُ : لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه مسلم)

Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia mendengar tiga hari sebelum meninggal Rasulallah saw, beliau bersabda tiga hari sebelum wafat beliau : “Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.” (HR Muslim)

Sekarang, jika si sakit telah wafat, apa yang harus dilakukan baginya?

@ – disunahkan menutup kedua matanya.

عَنْ أُمّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. قَالَتْ: دَخَلَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَىَ أَبِي سَلَمَةَ وَقَدْ شَقّ بَصَرُهُ. فَأَغْمَضَهُ. ثُمّ قَالَ: “إِنّ الرّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ (رواه مسلم)

Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw mendatangi rumah Abu Salamah (pada hari wafatnya), dan beliau mendapatkan kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau menutupnya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya’ (HR Muslim)

@ – Mengikat kepala mayit secara vertikal dari arah dagu dengan kain yang dilingkarkan diatas kepala, hal ini bertujuan agar mulut mayat tertutup dan tidak bisa dimasuki udara

@ – Hendaknya tangan mayit di posisikan seperti orang yang shalat.

@ – Melemaskan sendi sendi tangan dan kaki mayat dengan cara menekuk persendian tersebut berulang kali. Tindakan ini bertujuan agar jasad mayat tidak kaku sehingga sulit dimandikan.

@ – Melepaskan pakaian mayat yang dikenakan ketika meninggal, sebab pakaian tersebut bisa mempercepat proses pembusukan.

@ – Menutup jasadnya dengan kain tipis. Kedua ujung kain dilipat ke bawah kepala dan kaki agar tidak tersingkap ketika tertiup angin

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra, ia berkata: “Bahwasannya ketika Rasulullah saw meninggal dunia ditutupi dengan kain hibaroh (yakni kain bergaris hitam putih yang terbuat dari katun).” (HR. Bukhari-Muslim)

@ – Menaruh sesuatu yang agak berat di atas perut mayit agar perutnya tidak membesar.

لِمَا رُوِىَ أَنَّ مَوْلَى أَنَسٍ مَاتَ فَقَالَ أَنَس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ضَعُوا عَلَى بَطْنِه شَيْئاً مِن حَدِيدٍ؛ لئَلاَّ يَنْتَفِخَ بَطْنُه.(رواه البيهقي)

Diriwayatkan bahawa pembantu Anas ra wafat, lalu beliau bekata: “Letakanlah besi diatas perutnya agar perutnya tidak membesar (HR al-Baihaqi)

@ – Menghadapkan mayit kearah Kiblat dengan tata cara seperti di atas

@ – Memperbanyak do’a-do’a yang berisi permohonan ampunan dan rahmat untuknya,

@ – Bagi ahli warisnya diharuskan menyegrakan membayar hutang-hutannya atau sangkut paut yang berurusan dengan keuangan terhadap manusia, begitu pula melaksanakan wasiatnya jika terdapat wasiat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ (رواه الترمذي و ابن ماجه بإسناد صحيح)

Dari Abu Hurairah, ia berkata: sesungguhnya Rasulallah saw bersabda: “Diri orang mukmin itu tergantung (tidak sampai ke hadhirat Allah) karena hutangnya, hingga dibayar (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dengan isnad shahih)

Shalat dan Khutbah Jum’at

Shalat Jum’at

Shalat jum’at wajib bagi setiap laki-laki merdeka, Muslim, berakal, baligh, penduduk negeri, mempunyai pakaian dan tidak berhalangan (sakit). Shalat ini sebagai pengganti sholat Dhuhur yang dilakukan dua raka’at di masjid jami’.

Allah berfirman

يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْاْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُواْ الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ – الجمعة ﴿٩﴾

 

”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs al-Jumu’ah ayat: 9).

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ (النسائي بإسناد صحيح)

Dari Ibnu Umar ra, dari Hafshah istri Nabi saw, Rasulallah saw bersabda: “Shalat jum’at wajib atas setiap laki laki baligh” (An-Nasai’ dengan sanad shahih)

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : صَلاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ ، وَصَلاةُ الأَضْحَى رَكْعَتَانِ ، وَصَلاةُ الْمُسَافِرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ ، عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (أحمد و الشافعي و ابن ماجه)

Sesuai dengan hadits dari Umar bin Khathab ra, ia berkata ”Shalat jum’at dua raka’at dua raka’at, shalat iedul adha dua raka’at, shalat musafir dua raka’at sempurna tidak di-qashar menurut lisan Nabi kamu Muhammad saw” (HR Ahmad, as-Syafie dan Ibnu Majah).

لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَربَعَة : عَبدٌ مَملُوكٌ ، أَو امرَأَةٌ ، أَو صَبِيٌّ ، أَو مَرِيضٌ (أبو داود بإسناد صحيح)

Begitu pula Rasulallah saw bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih ”Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjama’ah kecuali atas 4 orang, budak belian, wanita, anak kecil, dan orang sakit”.

Syarat Sahnya Sholat Jum’at

– Harus dilakukan di masjid Jami’, bukan di tanah lapang

– Harus dilakukan berjama’ah sedikitnya 40 orang laki-laki, merdeka penduduk negeri (daerah).

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبٍ ابْنَ مَالِكٍ ، قَالَ : كَانَ أَوَّلَ مَنْ جَمَعَ بِنَا بِالْمَدِينَةِ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةَ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ ، يُقَالُ لَهُ : الْخَضَمَاتُ قُلْتُ: كَمْ كُنْتُمْ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ : أَرْبَعُونَ رَجُلاً (أبو داود و البيهقي و غيرها بأسانيد صحيحة)

Sesuai dengan hadits dari Abdurahmam bin Ka’ab bin Malik ra, ia berkata: ”Sesungguhnya orang yang pertama mengumpulkan untuk shalat jum’at di Madinah adalah As’ad bin Abi Zurarah sebelum hijrahnya Nabi saw ke Madinah di satu tempat di Naqie al-Khadhmat. Kemudian ditanya ”berapa bilangan kamu pada saat itu?” Ia menjawab ”40 laki-laki”. (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan isnad shahih).

Jadi, tidak ada hadits yang menetapkan bahwa shalat jum’at dilakukan kurang dari 40 orang laki laki.

– Shalat Jum’at dan khuthbahnya harus dilakukan setelah masuk shalat Dhuhur,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ (البخاري)

sesuai dengan hadits Rasulallah saw dari Anas ra sesungguhnya Rasulallah saw bershalat Jumat ketika matahari bergelincir (HR Bukhari)

– Harus didahulukan dengan khutbah pertama dan kedua,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ خُطْبَتَيْنِ ، فَإِنَّمَا يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا (البخاري و مسلم)

Sesuai dengan hadits Rasulallah saw dari Ibnu Umar ra ia berkata: ”sesungguhnya Rasulallah saw berkhutbah di hari Jumat dengan dua khuthbah dan duduk antara keduanya” (HR Bukhari Muslim)

– Masjid jami’ yang didirikan shalat jum’at harus tidak berdekatan dengan masjid jami’ lainnya di satu kampung, kecuali di kota besar yang penduduknya banyak dan masjid itu tidak bisa lagi menampung jama’ahnya.

Rukun Khutbah Jum’at

1- Membaca Alhamdulillah (pujian terhadap Allah) dikhutbah pertama dan kedua.

عَنْ جَابِرِ ابن عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ خُطْبَةُ النّبِيّ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ اللّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ ثُمّ يَقُولُ عَلَى أَثَرِ ذَلِكَ وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدّ غَضَبُهُ حَتّى كَأَنّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبّحَكُمْ وَمَسّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَيُقْرِنُ بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ السّبّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمّا بَعْدُ فَإِنّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللّهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمّدٍ وَشَرّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة ثُمّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيّ وَعَلَيّ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ia berkata: bahwasanya; Apabila Rasulullah saw menyampaikan khutbah pada hari Jum’at beliau memuji Allah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando kepada bala tentaranya. Beliau bersabda: Hendaklah kalian selalu waspada di waktu pagi dan petang. Aku diutus antara aku dan hari kiamat adalah seperti dua jari ini (yakni jari telunjuk dan jari tengah). Kemudian beliau melanjutkan bersabda: Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat. Kemudian beliau bersabda: Aku lebih utama bagi setiap muslim daripada dirinya sendiri. Karena itu, siapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah miliki keluarganya. Sedangkan siapa yang mati dengan meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka hal itu adalah tanggungjawabku. (HR Muslim)

2- Membaca shalawat atas Nabi saw di khutbah pertama dan kedua, karena setiap perbuatan akan sempurna jika dimulai dengan menyebut nama Allah dan shalawat terhadap Rasulallah saw, seperti adzan dan iqamah.

3- Berwasiat agar bertaqwa di khutbah pertama dan kedua sesuai dengan hadist di atas yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dimana Rasulallah saw mengingatkan orang-orang islam agar takut kepada Allah

4- Mebaca ayat suci al-Qur’an di khutbah pertama dan kedua

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ (مسلم)

sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Samrah ra, ia berkata: “sesungguhnya Rasulallah saw duduk di antara dua khubah jum’at, membaca Al-Qur’an dan menasihati manusia” (HR Muslim)

5- Memanjatkan do’a untuk Muslimin di khutbah kedua, sesuai dengan perbuatan para salaf.

Syarat Kedua Khutbah

1- Dilakukan setelah masuk waktu Dhuhur, karena shalat jum’at dan khutbahnya sebagai pengganti shalat dzuhur, sedang waktu shalat dzuhur masuknya setelah tergelincirnya mata hari.

2- Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu

3- Duduk antara kedua khutbah sekedar thuma’ninah.

عَنْ جَابرِ بن سَمُرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كانَ يخطُبُ قائماً، ثم يَجْلِسُ ، ثمَّ يقومُ فَيَخْطبُ قائماً، فَمَنْ أنْبَأَكَ أَنهُ كانَ يخطُبُ جالساً فَقَدْ كَذَبَ (رواه مسلم)

Sesuai dengan hadits dari Jabir bin Samrah ra, ia berkata: ”Bahwasanya Rasullah saw berkhutbah jum’at dalam keadaan berdiri, lalu duduk antara dua khutbah, kemudian berdiri lagi dan berkhutbah dalam keadaan berdiri, barang siapa yang membawa berita bahwa beliau berkhutbah dalam keadaan dukuk maka ia telah berdusta” (HR Muslim)

4- Dilakukan dalam keadaan suci dari kedua hadast

5- Suci pakaian, badan dan tempat dari najis, karena Rasulallah saw tidak berkhutbah jum’at kecuali dalam keadaan suci

6- Menutup aurat

7- Dilakukan berturut turut antara kedua khutbah dan shalat

8- Didengar oleh 40 orang sedikitnya

9- Rukun rukun khutbah harus diucapkan dalam bahasa Arab demi untuk menyeragamkan khutbah islam sedunia

Sunah Kedua Khutbah

  • Dilakukan diatas mimbar atau tempat yang agak tinggi, dan letak mimbar di sebelah kanan mihrab, karena cara ini lebih sempurna dalam berdakwah, sesuai dengan hadist Rasulallah saw sesungghuhnya beliau berkhutbah di atas mimbar (HR Bukhari Muslim)
  • Khatib memberi salam kepada hadirin setelah naik ke atas mimbar,

عَنْ الشَّعْبِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، اسْتَقْبَلَ النَّاسَ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ (البيهقي بإسناد ليس بقوي)

sesuai dengan hadits Rasulallah saw dari as-Sya’bi ra: sesungguhnya beliau jika telah naik ke atas mimbar di hari Jum’at dan menghadap ke arah manusia beliau mengucapkan ”Assalamu ’alaikum” (HR Baihaqi dengan isnad tidak kuat)

  • Khatib duduk diwaktu bilal beradzan

عَنْ السَائِب بِنْ يَزِيْد الصَحَابِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ انَ التَّأْذِينُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ – يَعْنِي عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا (البخاري)

sesuai dengan hadits Rasulallah saw dari As-Saib bin yazid as-Shahabi ra, ia berkata ”Sesungguhnya adzan di hari jum’at ketika imam duduk di atas mimbar, hal ini terjadi pada zaman Rasulallah saw, Abu Bakar dan Umar ra (HR Bukhari)

  • Khatib memegang busur panah atau tongkat di tangan kirinya,

عن الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : فَلَبِثْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ ، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَكِّئًا عَلَى قَوْسٍ أَوْ قَالَ : عَلَى عَصًا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ (حسن أبو داود و غيره)

Dari al-Hakam bin Huzn al-Kulafiy ra, ia berkata ”Kami tinggal bersama Nabi saw beberapa hari dan menyaksikan shalat jum’at bersama sama beliau, beliau berdiri memegang panah atau tongkat. Beliau memuji Allah dengan kalimat kalimat yang ringan dan berkah” (HR Abu Dawud dll, hadist hasan)

  • Khutbah yang dilbacakan jelas dan tegas bisa difahami seluruh lapisan masyarakat
  • Kedua khutbah yang dibacakan harus ringkas tidak panjang lebar,

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ : إِنَّ طُولَ صَلاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ ، فَأَطِيلُوا الصَّلاةَ وَأَقْصِرُوا الْخُطَبَ ( رواه مسلم )

sesuai dengan hadits Rasulallah saw beliau bersabda ” Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah merupakan tanda kedalaman fiqihnya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah” (HR. Muslim)

  • Khatib mengeraskan suaranya agar bisa didengar,

“كَانَتْ خُطْبَةُ النّبِيّ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ اللّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ ثُمّ يَقُولُ عَلَى أَثَرِ ذَلِكَ وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ” (رواه مسلم)

sesuai dengan hadits Rasulallah saw (sebelumnya) dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata: ”Apabila Rasulullah saw menyampaikan khutbah pada hari Jum’at beliau memuji Allah, suaranya lantang” (HR Muslim)

Keterangan (Ta’liq):

Imam Bukhari memberikan keterangan dalam Kitab shahihnya bahwa pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra, adzan dalam shalat jumat dilakukan sekali saja. Baru pada masa Usman bin Affan ra adzan dilakukan dua kali. Ini merupakan bid’ah hasanah yaitu bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman bin Affan ra setelah meluasnya kota Madinah dan penduduk semakin banyak. Jadi beliau memerintahkan untuk menambahkan adzan kedua pada pada hari Jumat tatkala semakin banyak jamaah masjid.  Sama halnya dengan shalat tarawih, yang pertama kali memerintahkan shalat tarawih berjamaah adalah Sayyidina Umar bin khathab ra dan ini merupakan bid’ah hasanah atau ijma’ sukuti (ijma’ yang tidak dikomentari).

Sunah-Sunah Jum’at

@  Mandi sebelum pergi sholat jum’at, waktunya mulai masuknya fajar hari jum’at dan sebaiknya di siang hari sebelum masuk waktu shalat,

عَنْ ابْنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، أن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ جَاءَ مِنْكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ (الشيخان)

Dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya beliau bersabda ”Siapa yang datang kepadanya hari Jum’at, maka madilah” (HR Bukhari Muslim)

@  Memakai siwak atau sikat gigi, memotong kuku, membersihkan rambut, memakai minyak wangi dan memakai pakaian yang baik dan bersih,

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ و أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَاسْتَاكَ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ المَسْجِدَ وَلَمْ يَتَخَطَّ رِقَابَ النَّاسِ ثُمَّ رَكَعَ مَا شَاءَ الله أَنْ يَرْكَعَ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ الإِمَامُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ كانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى (أبو داود و أحمد بأسانيد صحيحة)

Dari Abu Said dan Abu Hurairah ra: ”Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at, memakai siwak, memakai minyak wangi jika dia memilikinya, memakai pakaian yang terbaiknya kemudan mendatangi mesjid sementara dia tidak melangkahi pundak-pundak orang lain sehingga dia ruku’ (shalat) sekehendaknya, kemudian diam  mendengarkan imam pada saat dia berdiri untuk berkhutbah sehingga selesai shalatnya maka hal itu sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi antara jum’at ini dengan hari jum’at sebelumnya (HR Abu Dawud dan Ahmad dengan isnad2 shahih)

@  Menuju masjid sebelum waktu kecuali imam, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ (الشيخان)

”Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at yang sama seperti mandi janabah kemudian bersegera pergi ke mesjid maka dirinya seakan telah berkurban dengan seekor unta yang gemuk, dan barangsiapa yang pergi pada masa kedua maka dia seakan berkurban dengan seekor sapi, dan barangsiapa yang pergi ke mesjid pada saat yang ketiga maka dia seakan telah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk, dan barangsiapa yang pergi ke mesjid pada saat yang keempat maka dia seakan telah berkurban dengan seekor ayam, dan barangsiapa yang pergi ke mesjid pada saat yang kelima maka dia seakan telah berkurban dengan sebutir telur, dan apabila imam telah datang maka para malaikat hadir mendengarkan zikir (khutbah).”

@  Berjalan kaki menuju masjid jika tidak ada udzur dan dengan tenang (tidak terburu-buru), sesuai dengan hadist Nabi saw

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاةَ فَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا (الشيخان)

Rasulallah saw bersabda: “Jika kamu pergi untuk shalat maka pergilah dengan berjalan kaki dengan tenang. Apa yang kamu dapatkan (dari raka’at shalat) maka laksanakanlah dan apa yang tertinggal (dari raka’at) ulangilah (HR. Bukhari Muslim)

@  Diusahakan jangan menggunakan kendaraan saat menuju ke masjid, sesuai dengan hadits Nabi saw:

عَنْ أَوْسُ بْنُ أَوْسٍ الثَّقَفِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا (رواه النسائي، الترمذي ، ابو داود)

Dari Aus bin Aus At-tsaqafi, ia mendengar Rasulallah saw bersabda: “Barangsiapa membasuh dan mandi pada hari Jum’at, lalu bersegera pergi (menuju masjid) dengan berjalan kaki tanpa berkendaraan, mendekat kepada imam, diam dan tidak berkata-kata sia-sia : maka baginya pada setiap langkahnya itu pahala amal setahun, (yaitu) puasa dan shalatnya”. (HR An-Nasai’, At-Tirmidzi, Abu Daud)

@  Memperbanyak membaca shalawat atas Nabi saw sepanjang hari Jum’at atau pada waktu malamnya, berdasarkan sabda Nabi saw dari Aus bin Aus ra.:

عَنْ أَوْسُ بْنُ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ (أبو داود و النسائي بأسانيد صحيحة)

”Hari terbaik kalian adalah hari jum’at, maka perbanyaklah membaca shalawat bagiku sebab shalawat kalian didatangkan kepadaku”. (HR an-Nasai’ dengan sanad shahih)

@  Membaca surat al-Kahfi di hari jum’at, sesuai dengan hadits Rasulallah saw dari Abi Said Al-Khudri ra bahwa Rasulallah saw bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ (الحاكم و البيهقي)

”Barangsiapa yang membaca surat Al-kahfi pada hari jum’at maka sinar akan memancar meneranginya antara dua jum’at”. (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)

@  Disnunahkan bagi imam membaca surat Al-Jumu’ah di raka’at pertama dan surat Al-Munafiqun di raka’at kedua, atau membaca “Sabihisma robbikal a’la” di raka’at pertama dan “Al-Ghasyiah” di raka’at kedua.

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ ، قَالَ : اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَلَى الْمَدِينَةِ ، وَخَرَجَ إِلَى مَكَّةَ ، فَصَلَّى أَبُو هُرَيْرَةَ بِنَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَقَرَأَ بَعْدَ سُورَةِ الْجُمُعَةِ بـ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ فِي السَّجْدَةِ الآخِرَةِ . قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ : فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ ، فَقُلْتُ : تَقْرَأُ السُّورَتَيْنِ كَمَا كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي الْكُوفَةِ ؟ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ ، عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ ، يَقْرَأُ بِهِمَا (رواه مسلم)

Dari Ubaidillah bin Abi Raafi’ ra, ia berkata: Marwan mangangkat Abu Hurairah sebagai gubernur kota Madinah. Abu Hurairah berangkat ke Makkah, kemudian shalat jum’at. Ia membaca pada raka’at pertama surat Al-jumu’ah dan surat Al-Munafiqun pada raka’at kedua. Ubaidillah berkata: Aku dapatkan Abu Hurairah ketika selesai shalat. Lalu aku berkata kepadanya: ”sesungguhnya kamu telah membaca dua surat dimana Ali bin Abi Thalab ra membacanya juga sewaktu berada di Kufah” Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulallah saw membaca juga kedua surat tsb pada hari jum’at”:  (HR Muslim)

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِـ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَ هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ ، قَالَ : وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلاتَيْنِ (رواه مسلم)

Dari a-Nu’man bin Basyir ra, ia berkata: ”sesungguhnya Rasulallah saw membaca (Sabihisma rabbikal a’la) dan (Hal ataka hadistul ghasyiah) pada hari Raya dan hari jum’at. Dan jika hari raya dan hari jum’at jatuh pada hari yang sama beliau juga membaca kedua surat tsb dalam kedua shalatnya (Hari Raya dan Jum’at) (HR Muslim)

@  Memperbanyak do’a di hari Jum’at karena pada hari itu terdapat saat terkabulnya do’a, yaitu saat saat di mana tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah kecuali akan dikabulkan permohonannya, sesuai dengan hadits Rasulallah saw dari Abi Hurairah ra bahwa beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ قَالَ وَهِيَ سَاعَةٌ خَفِيفَةٌ (رواه الشيخان)

“Sesungguhnya pada hari jum’at terdapat satu saat tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah suatu kebaikan kecuali Allah memberikannya, dan saat tersebut sangat sedikit.” (HR Bukhari Muslim)

Yang Mendapatkan Shalat Jum’at

  • Orang yang ketinggalan satu raka’at bersama imam, harus menambah satu raka’at setelah salam imam.
  • Orang yang mendapatkan ruku bersama imam di raka’at kedua, harus menambah satu raka’at setelah salam imam.
  •  Orang yang mendapatkan imam sudah bangun dari ruku di raka’at kedua, ia harus melakukan shalat dhuhur 4 raka’at setelah salam imam. Ini yang dinamakan niat tanpa shalat dan shalat tanpa niat yaitu niat ingin shalat jum’at tapi tidak shalat jum’at dan tidak niat shalat dhuhur tapi harus shalat dhuhur.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ (رواه الشيخان)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ”Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat (jum’at), berarti ia telah mendapatkan shalat” (HR Bukhari Muslim)

Shalat Berjama’ah

Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki merdeka, menetap (tidak musafir) dan mempunyai pakaian. Hal ini merupakan suatu pemandangan indah yang mencerminkan syi’ar Islam dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan), sesungguhnya orang islam itu bersaudara.

Shalat jama’ah pahalnya lebih dari shalat sendiri dengan 27 kali lipat ganjaran (pahala), sesuai dengan sabda Rasulallah saw:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ الْقَاصِيَةَ (أبو داود والنسائي بإسناد صحيح)

Dari Abu ad-Darda’ ra:  ”Tiada tiga orangpun di dalam sebuah desa atau lembah yang tidak didirikan di sana shalat jama’ah, melainkan mereka telah dipengaruhi oleh setan, karena itu hendaklah kamu membiasakan shalat jama’ah, sebab serigala itu hanya menerkam kambing yang terpencil dari kawannya. (HR Abu Daud dan an-Nasai’ dangan sanad shahih).

Sekurang kurangnya berjama’ah adalah imam dan makmum, sesuai dengan hadits Nabi saw:

عَنْ مَالِك ابْنِ الحُوَيْرِث رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَصَاحِبٌ لِي فَلَمَّا أَرَدْنَا اْلإِقْفَالَ مِنْ عِنْدِهِ قَالَ لَنَا إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيْمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا (رواه الشيخان)

Dari Malik ibnu al-Huwairits ra, ia berkata ”Aku dan temanku datang kepada Rasulallah saw, kemudian sewaktu aku permisi beliau bersabda : jika datang waktu shalat maka ucapkanlah adzan dan iqamah dan pilihlah yang paling tua diantara kalian sebagai imam” (HR Bukhari Muslim).

Keterangan: sedikit dikitnya sholat berjama’ah ialah imam dan ma’mum dan sebanyak banyaknya tidak terbatas.

 

Syarat Berjama’ah

1- Keyakinan ma’mum akan kesempurnaan shalat imamnya, yaitu ma’mum tidak mengetahui batalnya shalat imam dengan sebab hadats atau yang lainnya.

2- Ma’mum harus berada dibelakang imam dalam kedudukanya, yaitu posisi ma`mum tidak melebihi tempat berdiri imam

3- Ma’mum harus mengetahui gerak gerik imamnya yaitu makmum harus mengetahui perpindahan gerakan shalat imam, dan mengikuti gerakannya. Gerakan makmum tidak mendahului gerakan imam.

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw ”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti” (HR Bukhari Muslim)

4- Jarak imam dan ma’mum harus tidak berjauhan, yaitu 300 hasta (144 m) jika dilakukan di luar masjid (di lapangan), jarak ini dimulai dari akhir mesjid kecuali di dalam masjid karena masjid merupakan tempat berkumpul untuk shalat

5- Ma`mum wajib berniat mengikuti imam atau niat berjama`ah, sedang imam tidak wajib niat berjamaah tapi sunah dilakukanya atau sering juga disebut mustahab yaitu sesuatu perbuatan yang dicintai Allah dan Rasul Nya agar mendapat fadhilahnya berjama’ah…selanjutnya

Siapa Yang Berhak Menjadi Imam

Jika di suatu desa terdapat masjid maka yang lebih berhak menjadi imam adalah kepala desa sesuai dengan sabda Nabi saw ”tidak bemakmum pemimpin kepada seorang dalam kekuasannya”  (HR Muslim).

Kemudian jika terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid.

Diriwayatkan sesungguhnya Ibnu Umar ra mempunya pembantu yang selalu mengimami di masjid, lalu beliau datang dan menyuruh pembantunya menjadi imam, ia berkata ”Kamu lebih berhak menjadi imam di masjidmu” (HR Imam Syafie).

Jika kita bertamu ke rumah seseorang maka yang berhak menjadi imam adalah shaibul bait (pemilik rumah).

Sabda Nabi saw ”Seseorang tidak boleh menjadi imam di dalam keluarga seseorang atau didalam kekuasanya dan tidak boleh duduk di majlisnya kecuali dengan seizinnya”. (HR Muslim).

Kalau tidak ada atau tidak mampu, maka yang didahulukan ialah…selanjutnya

Sunah Dalam Shalat Berjama’ah

1- Meluruskan shaf. Imam harus memerintahkan para jama’ahnya untuk meluruskan shaf dan harus meyakinkannya.

Sabda Rasulallah saw yang diriwayatkan dari Anas ra ” ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian dan rapatkanlah, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”, Anas ra berkata ”sesungguhnya aku telah melihat salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.” (HR Muttafaqun ’alaih).

2- Mengutamakan duduk di shaf awal.

Sesuai dengan sabda Rasulullah saw  ”Seandainya manusia mengetahui keutamaan panggilan adzan dan shaf awal kemudian tidaklah mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi, pastilah mereka berundi”. (HR Muttafaqun ’alaih)

3- Menjaga agar bisa shalat berjama’ah bersama imam dan mengikutinya dari takbiratul ihram.

Sesuai dengan sabda Rasulallah…selanjutnya

Halangan Shalat Berjama’ah

Shalat jama’ah harus dilakukan dalam keadaan apapun kecuali jika terdapat beberpa udzur, diantaranya:

  • Dalam keadaan hujan, becek dan angin kencang di malam hari

Sesuai dengan Hadist Rasulallah saw yang diriwayat Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. pernah memerintahkan seorang muazin dalam malam yang dingin dan hujan agar salat di rumah. (HR Muttafaun ‘alaih)

  • Dalam keadaan sangat lapar dan haus dan dihadapannya hidangan makanan dan minuman
  • Menahan buang air besar dan kecil sedang waktu masih panjang untuk shalat.

Dari Aisyah ra, ia berkata: aku mendengar Rasulallah saw bersabda “tidak dilaksanakan shalat apabila makanan telah dihidangkan dan apabila menahan kedua hadast (kecil dan besar)” (HR Muslim)…selanjutnya

Luka (Jarih)

Luka (Jarih)

Walaupun dalam keadaan luka shalat wajib dilakukan. Dan sebelum shalat harus melakukan kewajiban bersuci dari hadast kecil atau hadast besar. Sekarang jika anggota tubuh kita terkena luka (jarih), kita diwajibkan bersuci seperti biasa (wudhu atau mandi junub). Dalam hal ini hukumnya terbagi atas dua bagian:

I- Luka tidak dibalut

Seperti telah kita ketahui bahwa anggota tayammum adalah wajah dan kedua tangan. Jika luka masih bisa dibasuh oleh air, maka kita wajib membasuhnya seperti tidak ada luka baik wudhu atau mandi besar.

Jika luka tidak bisa dibasuh air (menurut anjuran dokter) sedang lukanya berada dianggota tayammum (wajah dan tangan), maka wajib membasuh semua anggota yang sehat dengan air lalu bertayammum pada anggota yang terkena luka. Dan hal ini dilakukan dengan tertib. Misalnya, luka terdapat pada wajah, berarti tayammum dilaksanakan sebelum membasuh tangan. Atau luka terdapat pada tangan, maka tayammum dilakukan setelah membasuh wajah. Setelah sembuh lukanya tidak wajib mengulangi shalatnya.
 
Berlainan jika luka yang berada di anggota tayammum itu tidak bisa ditayammumkan. Artinya luka trb tidak bisa diusap dengan debu atau tidak bisa terkena debu. Maka hal yang seperti ini jika lukanya telah sembuh, ia wajib mengulangi (qadha) shalat yang selama ia tidak bertayammum.

Sekarang jika luka tidak berada di anggota tayammum (wajah dan tangan), maka cara semacam ini dianggap cukup dan tidak ada kewajiban mengulangi shalat setelah sembuh dari luka meskipun lukanya tidak ditayamumkan atau tidak bisa dikenai debu.

II- Luka dibalut perban

Jika luka dibalut dengan perban dan berada pada anggota tayammum (wajah dan tangan). Maka sebaiknya saat bersuci membuka perban, kemungkinan luka masih bisa dibasuh air atau diusap debu (bertayammum). Jika perban tidak mungkin dibuka, maka hukumnya membasuh anggota yang sehat dengan air lalu mengusap pembalut dengan kelima jari tanganya setelah dicelup dengan air (dengan tangan yang basah), setelah itu sebagai pengganti bagian tubuh yang tertutup pembalut  hendaklah ia bertayammum. Adapun bersuci seperti model ini shalanya wajib diulang setelah sembuh.

Kesimpulannya:

• Jika pembalut terletak bukan di anggota tayyammum (wajah dan tangan) maka tidak wajib mengulangi (mengqadha) shalatnya

• Jika pembalut terletak di anggota tayyammum (wajah dan tangan) maka wajib mengulangi shalatnya

• Jika pembalut diletakan dalam keadaan tidak berwudhu maka wajib mengulangi shalatnya

• Jika pembalut terbuat dari bahan yang najis atau terkena najis (selain darah dari lukanya) maka wajib mengulangi shalatnya

Contact Us (Penyusun)

Nama saya Hasan Husen Assagaf, pernah mondok di Gontor, alumnus King Abdul Aziz University (Jeddah). Saya tidak beken dan tidak mau jadi orang beken. yang penting bagi saya bukan apa atau siapa saya, karena Allah tidak akan menilai apa dan siapa saya tetapi apa amal-perbuatan saya. Tentu sambil kuliah pada waktu itu saya tidak luput hadir dalam acara2 pengajian apa saja baik rutin atau tidak rutin kepada ulama2 Makkah dan Jeddah. Yang penting saya kenal siapa ulama yang saya hadiri,  diantaranya:

  • Habib Abdulkadir bin Ahmad Assagaf (ini sesepuh habaib pada zamannya)
  • Assayyid Dr. Muhammad bin Alwi Al-Maliki (siapa yang tidak kenal dengan beliau. Seantero jagat dunia Islam pasti kenal siapa Sayyid Dr. Mohammad Al-Maliki)
  • Habib Attas Al-Habsyi (setiap habis sholat Jum’at selalu duduk di muka Ka’bah percis depan Multazam. Beliau Almarhum mustajab do’a. saya tidak lupa amalan yang diberikan dari Habib ini supaya saya dapat anak laki2 setelah hilang harapan saya dan saya dikaruniai 5 puteri. Beliau adalah Uwais Al-Qarani pada zamannya)
  • Habib Hasan Fad’ak (saya temui beliau sudah usia uzur, tapi masih sempat menemuinya di majlis beliau yang tempatnya agar berjauhan dari Haram)
  • Habib Ahmad Masyhur Alhaddad (Beliau asal Kenia, lalu menetap di Makkah dan dimakamkan di Ma’la)
  • Dan lain2nya yang saya tidak bisa sebut satu persatu. Makkah Madinah adalah tempat ilmu dan ibadah.

Pernah bekerja di perusahaan “Fitaihi Holding Group Company” (di Riyadh), Treasury Supervisor 1983 – 2017. Saya senang menulis, senang menukil, senang menyadur, kadang2 makalah saya muncul di beberapa media. Ini juga namanya da’wah.

Dawah dibagi dua, ada dengan cara lisan ada lagi dengan cara tulisan. Kedua duanya ini dilakukan oleh Nabi saw. Da’wah lisan ada dua, ada yang dinamakan “lisan maqal” (dengan berkata/berpidato) ada lagi yang dinamakan “lisan hal” yaitu berda’wah dengan budi pekerti, tindak tanduk, kelakuan dan perilaku. Ada lagi da’wah dengan cara tulisan. Nabi saw berdawah kepada para pembesar kafir dengan cara tulisan. Beliau menulis surat kepada mereka agar mememeluk agama islam. Itu banyak contohnya seperti tulisan yang ditulis Nabi saw kepada Kaisar Heraklius, kepada Kaisar Mukaukis, kepada Kasisar Persia di Iiran dan kepada raja Najasyi. Ini dilakukan Nabi saw dengan cara tulisan bukan dengan pidato atau ceramah. Karna pidato bisa habis menguap setelah yang berpidato selesai berbicara tapi tulisan tidak bisa habis-habisnya, ada buktinya dan akan terus terbaca. Kita hanya bisa berbuat adapun semuanya akan kita saksikan nanti di akhirat mana yg lebih baik di sisiNya.

Jelasnya, saya telah meluncurkan beberapa website dan telah menerbitkan beberapa karya-karya dalam bentuk buku religius diantaranya:

Alhamdulillah telah terbit dua buku relegius lainya:

1- “Fiqih Nabi”, kitab ini saduran dari kitab:

اَلدُّرُوْسُ الْفِقْهِيَّةُ – اَلْحَلَقَةُ الرَّابِعَةُ

تأليف العلامة الحبيب عبدالرحمن بن سقاف السقاف

Ad-Durusul Fiqhiyyah Halaqah Keempat, kitab Fiqih beraliran Ahli Sunah Wal Jama’ah dan bermadzah Syafi’i, karya: Al-’allamah Al-Habib Abdurahman Bin Saggaf Assagaf (Qadhi pada zaman Habib Ali AlHabsyi Kwitang, Jakarta).

Web Fiqih Nabi: https://hasansaggaf.wordpress.com/

2- “Akidah Menurut Ajaran Nabi” (Cetakan Kedua), kitab ini merupakan syarah dari kitab:

دروس العقائد الدينية – الحلقة الرابعة

تأليف العلامة الحبيب عبدالرحمن بن سقاف السقاف

“Durus Al-Aqa’id Ad-Diniyyah”, kitab Akidah beraliran Ahli Sunah Wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i karya: Al-Al-’allamah Al-Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf Al-’Alawi Al-Husaini As-Syafi’i Al-Asy’ari (Qadhi pada zaman Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, Jakarta)

Web Akidah Menurut Ajaran Nabi: https://hasanassaggaf.wordpress.com/

Yang berminta bisa hubungi: Toko Buku Menara Kudus. Saran dan ide anda sangat dihargai, Wassalam.

Hasan Husen Assagaf, HP No. 0062-816-1838-287 atau 0062- 858-8767-3305  , Email: hasanhusen@gmail atau hasan_saggaf@yahoo.com

Hubungi Kami: TOKO DUBAI, Jl. Condet Raya, Jakarta Timur, Indonesia,

Ringkasan Amalan Haji

Ringkasan Amalan Haji

Dari pelajaran diatas tentang Haji dan Umrah, Berikut ini terlampir ringkasan bagaimana cara melakukan amalan haji:

@ –  Pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), sebelum melakukan ihram disunahkan memotong rambut, kumis dan kuku, lalu mandi, berwudu’ dan memakai wangi-wangian, kemudian mempersiapkan diri untuk berihram sebagaimana lazimnya ketika berihram harus dari miqat. Disunahkan di miqat melakukan shalat sunnah 2 rakaat, kemudian berniat untuk haji (haji ifradh, haji tamattu’ atau haji qiran) dengan mengucapkan: لَبَّيْكَ حَجَّا  lalu dilanjutkan dengan memperbanyak membaca talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرَيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَ النِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Bacaan talbiyah ini terus diucapkan dan tidak dihentikan kecuali jika akan melempar Jumratul Aqabah di Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzul Hijjah setelah selesai wukuf di Arafah.

@ –  Bagi yang berihram harus menjauhkan perbuatan yang kira2nya bisa membatalkan hajinya seperti melakukan jima’ dengan istri, bertengkar, bertikai atau berdebat dengan sesama rekan, jangan sekali kali sampai melakukan sesuatu yang buruk baik dalam perkataan atau perbuatan atau melakukan perbuatan yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan kesucian ibadah haji, tidak dibolehkan kawin atau mengawini seseorang,  dilarang menggunakan pakaian atau sepatu yang dijahit, dilarang menutup kepala dengan kopiah, dilarang memakai wangi wangian, memotong kuku atau rambut, dilarang memburu binatang, atau memotong pepohonan.

@ –  Berangkat menuju Mina dan menginap disana pada malam tarwiyah (8 Dzul Hijjah) serta melaksanakan shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya’ dan Shubuh dengan mengqashar shalat-shalat yang empat rakaat tanpa dijamak.

@ – Pagi harinya (9 Dzul Hijjah) bertolak dari Mina ke Arafah, hal ini dilakukan setelah matahari terbit.

@ – Setelah tiba di Arafah turun di Namirah disisi pandang Arafah (sekarang telah dibangun masjid besar) atau dimana saja di Arafah, karena seluruh Arafah adalah tempat wukuf. Lalu melaksanakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar dijamak taqdim dan diqashar dua raka’at dua raka’at dengan satu kali adzan dan dua kali iqamah.

@ – Melaksanakan wuquf di padang Arafah dalam kondisi tidak berpuasa.

Saat wukuf di Arafat adalah saat saat ijabah, saat saat manusia dianjurkan untuk memperbanyak do’a dengan mengangkat tangan, memohon ampun dan bertaubat, dan jangan sekali kali sampai melakukan sesuatu yang buruk baik dalam perkataan atau perbuatan atau melakukan perbuatan yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan kesucian ibadah saat berdiam diri di Arafat. Hal ini dilakukan hingga matahari terbenam.

@ – Setelah matahari terbenam bertolak meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah sambil memperbanyak membaca talbiyah dan berjalan dengan penuh ketenangan.

@ – Setelah tiba di Muzdalifah dianjurkan untuk shalat Maghrib dan Isya’ dengan dijamak, shalat ini dilakukan dengan satu kali adzan dan dua kali iqamah. Di Muzdalifah dianjurkan menginap tanpa menghidupkan malam itu dengan shalat, tanpa membaca al-Qur-an atau ibadah lainnya karena hal tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. Di Muzdalifah dianjurkan memungut batu kerikil jumlahnya 70 batu krikil yang digunakan untuk menyambit  jumratul Aqabah tanggal 10 dan ketiga jumrah (Ula, Wustha  dan Aqobah) di hari-hari 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah. Menginap di Muzdalifah dilakukan sampai masuknya waktu sholat Shubuh (10 dzul Hijjah) dan dianjurkan sholat Shubuh sebelum bertolak ke Mina.

@ – Kemudian melakukan wuquf di Masy’aril Haram (Muzdalifah) dengan menghadap ke arah kiblat sambil berdo’a, memohon segala kebaikan dan mengagungkan serta mentauhidkan Allah hingga bumi mulai telah terang.

@ – Lalu bertolak dari Muzdalifah sebelum matahari terbit menuju Mina dan setibanya di satu tempat yang bernama wadi Muhassir dianjurkan mempercepat langkah atau jalan. Disunahkan untuk mempercepat jalan di wadi itu dan bertahlil sesuai dengan perbuatan Rasulallah saw karena wadi ini merupakan wadi perkampungan syaitan

@ – Setibanya di Mina pada pagi hari 10 Dzul Hijjah, di waktu Dhuha dianjurkan melempar Jumrotul Aqabah dengan menggunakan 7 batu krikil kecil. Lemparan ini boleh juga dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan setiap lemparan membaca takbir ” اَللَّهُ أَكْبَرُ ” . Pada saat melempar Jumrotul Aqabah dianjurkan menghentikan bacaan talbiyah. Dengan melempar jumroh ini, berarti telah bertahallul awal (tahallul pertama) yaitu diperbolehkan memotong rambut atau mencukur bersih (adapun bagi wanita cukup dengan memotong rambutnya sepanjang satu ruas jari), memakai wangi-wangian, dan membuka pakaian ihram dan menggantinya dengan pakaian biasa, semuanya boleh dilakukan hanya berjima’ dengan istri yang dilarang kecuali setelah bertahallaul tsani (tahallul kedua) yaitu setelah melakukan thawaf ifadhah dan sa’i.

@ – Bagi yang melaksanakan haji Tamattu’ harus melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwah setelah thawaf ifadhah. Adapun bagi haji Qiran yang sudah melaksanakan sa’i ketika pertama kali tiba, maka mereka tidak sa’i lagi sesudah thawaf ifadhah.

@ – Setelah thawaf ifadhah dianjurkan meminum air zamzam, lalu mencium Hajar Aswad (bila dalam keadaan sesak dan berdesakan lebih baik mengurungkan niat untuk menciumnya, cukup dengan memberi salam dari kejauhan).

@ – Setelah thawaf ifadhah dan sa’i kembali lagi ke Mina dan melakukan mabit (menginap) selama hari-hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah sambil melakukan pelemparan ke tiga jumrah (Ula, Wustha dan Aqobah) dan disunnahkan melempar setelah tergelincirnya matahari.

@ – Bagi yang melakukan haji Tamattu’ dan haji Qiran, harus menyembelih binatang hadyu berupa seekor kambing bagi setiap orang atau tujuh orang jama’ah haji bergabung untuk membeli seekor unta atau seekor sapi. Dan tempat penyembelihannya boleh di Mina dan boleh pula di Makkah. Bagi yang tidak mampu menyembelih binatang hadyu, mereka diwajibkan berpuasa selama 3 hari pada masa haji dan 7 hari setelah tiba di kampung halamannya. Dan disunnahkan memakan sebagian dari daging sembelihan hadyunya.

@ – Maka selesailah pelaksanaan ibadah haji dan sebelum meninggalkan kota kelahiran Nabi saw, Makkah, disunnahkan melaksanakan thawaf wada’, artinya mengucapkan selamat tinggal kepada kota kecintaan Nabi saw dengan harapan bisa kembali lagi di tahun tahun berikutnya kecuali bagi wanita yang sedang haidh atau nifas, maka tidak wajib bagi mereka untuk melaksanakan thawaf wada’.

4- Dam Takhyir Dan Ta’dil

4- Dam Takhyir Dan Ta’dil

Dam takhyir dan ta’dil ialah Dam yang dikeluarkan karena membunuh binatang darat diwaktu melakukan manasik haji ((kecuali ular, kala jengking , tikus dan lain-lain yang dipandang membahayakan), Maka orang bersangkutan harus menyembelih hewan yang sepadan dengan hewan yang dibunuhnya (kalau kambing harus dibayar dengan kambing. Kalau ayam harus dibayar dengan ayam. Dan seterusnya), atau dibayar nilainya dengan makanan yang diberikan kepada orang-orang miskin, atau berpuasa setiap satu mud satu hari puasa.

Allah berfirman: janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.  Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya” al-Maidah 95

3- Dam Takhyir Dan Taqdir

3- Dam Takhyir Dan Taqdir    

Dam takhyir dan taqdir yaitu Dam yang dibayar dengan menyembelih seekor kambing seperti kambing kurban atau berpuasa tiga hari atau bersedekah sebanyak setengah sha’ (kurang lebih 1.75 liter) kepada 6 orang fakir miskin

Adapun yang mewajibkan Dam takhyir dan taqdir yaitu;

  • Mencukur atau menggunting rambut

Allah berfirman: “Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.” Al-Baqarah 196

  • Memotong kuku
  • Memakai minyak rambut disaat haji
  • Memakai wangi-wangian disaat haji
  • Memakai pakaian berjahit (bagi laki-laki)
  • Berjima’ setelah jima’ pertama (jima’ sebelum tahallul awal)
  • Berjima’ setelah tahallul awal
  • Bercanda dengan istri yang bisa menimbulkan birahi